Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan, berencana mengijinkan
penggunaan pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia. Ini
adalah kabar buruk bagi dunia kelautan dan lingkungan hidup.
Pukat
harimau adalah metode menangkap ikan dengan cara membabi buta. Biasanya
menggunakan beberapa perahu/kapal dengan jaring yang sangat lebar,
panjang dan dalam. Sehingga area tangkapan ikan pun lebih luas, lebih
banyak ikan yang ditangkap dalam waktu singkat. Tentu ini secara ekonomi
adalah efisien dan efektif.
Namun efek dari jaring pukat harimau
itu, banyak juga ikan kecil-kecil maupun ikan yang tidak bisa dikonsumsi
ikut tertangkap. Ikan-ikan yang tidak berguna ini biasanya mati begitu
saja dan dibuang kembali ke laut. Di sinilah efek negatif jaring pukat
harimau, sangat kuat untuk merusak lingkungan.
Dan sebenarnya dalam
jangka panjang akan merugikan kepentingan ekonomi bangsa juga. Karena
penggunaan pukat harimau ini, maka banyak ikan-ikan kecil yang ikut mati
terjaring. Akibatnya pada kurun waktu tertentu, ikan-ikan tersebut akan
habis karena tidak sempat regenerasi dengan alami. Sebagian pengguna
pukat harimau ini adalah nelayan asing. Buat mereka tidak masalah,
karena bila di perairan Indonesia sudah kosong ikan, dapat pindah ke
perairan lain. Tinggal nelayan kita yang gigit jari.
Di beberapa
negara penggunaan pukat harimau atau trawl ini sudah dilarang. Indonesia
sebenarnya juga sudah melarang penggunaan pukat harimau sejak tahun
1980 , lewat Keppres 39/1980. Meskipun sudah ada larangan, tapi
kenyataan di lapangan, masih ada saja kapal nelayan modern yang
mencuri-curi menggunakan pukat harimau ini.
Nah, menurut rekomendasi
dari Bappenas, daripada dilarang-larang tetapi kenyataannya masih ada
nelayan yang menggunakan pukat harimau, maka sebaiknya diperbolehkan
saja. Bappenas meneliti ada 6 daerah nelayan yang masih menggunakan
pukat harimau, meski dilarang, yaitu Nunukan, Tegal, Padang, Bagan
Siapi-api, Pekalongan, dan Cilacap.
Rekomendasi Bappenas inilah yang
menjadi dasar Departemen Kelautan untuk mengijinkan penggunaan pukat
harimau. Sekarang sedang diupayakan untuk mencabut atau merevisi Keppres
39/1980 di atas.
Ada alasan lain dari Departemen Kelautan yang
hendak membuka ijin penggunaan pukat harimau ini. Aku kutipkan dari
harian Kontan, 10 April 2008 :
Izin operasi pukat harimau di daerah
perbatasan sekaligus untuk menjaga wilayah perbatasan, "Bila
mengandalkan petugas perairan, tidak bisa setiap hari mondar mandir di
wilayah tersebut,"kata Soen'an Hadi Poernomo, Kepala Pusat Data,
Statistik, dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan.
Rasanya
ini kebijakan yang aneh. Ketidakmampuan aparat keamanan menjaga wilayah
perbatasan di laut, kok kemudian dibebankan pada nelayan? Kompensasinya
boleh tangkap ikan sesukamu. Lalu karena selama ini sering terjadi
pelanggaran pukat harimau, maka rekomendasi Bappenas kok malah minta
Keppresnya direvisi? Bukankah semestinya minta penambahan aparat untuk
menjaga perbatasan maupun menangkap nelayan yang menggunakan pukat
harimau?
Para menteri pembantu Presiden SBY akhir-akhir ini memang
sering aneh logika berpikirnya. Ada penelitian dari IPB soal susu
formula tercemar, Menkesnya malah meradang di televisi, menuduh
penelitinya tidak benar. Ada film Fitna dari negeri Belanda yang
menghina agama, malah situs-situs yang menayangkan diblokir oleh Menteri
Komunikasi dan Informasi. Sekarang soal kelautan, karena peraturan
sering dilanggar nelayan maka akan dibebaskan penggunaan pukat harimau
oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.
No comments:
Post a Comment