Thursday, April 10, 2008

Tolak Pukat Harimau / Trawl , Selamatkan Laut Kita Untuk Anak Cucu kita Nanti

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan, berencana mengijinkan penggunaan pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia. Ini adalah kabar buruk bagi dunia kelautan dan lingkungan hidup.
Pukat harimau adalah metode menangkap ikan dengan cara membabi buta. Biasanya menggunakan beberapa perahu/kapal dengan jaring yang sangat lebar, panjang dan dalam. Sehingga area tangkapan ikan pun lebih luas, lebih banyak ikan yang ditangkap dalam waktu singkat. Tentu ini secara ekonomi adalah efisien dan efektif.
Namun efek dari jaring pukat harimau itu, banyak juga ikan kecil-kecil maupun ikan yang tidak bisa dikonsumsi ikut tertangkap. Ikan-ikan yang tidak berguna ini biasanya mati begitu saja dan dibuang kembali ke laut. Di sinilah efek negatif jaring pukat harimau, sangat kuat untuk merusak lingkungan.
Dan sebenarnya dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan ekonomi bangsa juga. Karena penggunaan pukat harimau ini, maka banyak ikan-ikan kecil yang ikut mati terjaring. Akibatnya pada kurun waktu tertentu, ikan-ikan tersebut akan habis karena tidak sempat regenerasi dengan alami. Sebagian pengguna pukat harimau ini adalah nelayan asing. Buat mereka tidak masalah, karena bila di perairan Indonesia sudah kosong ikan, dapat pindah ke perairan lain. Tinggal nelayan kita yang gigit jari.
Di beberapa negara penggunaan pukat harimau atau trawl ini sudah dilarang. Indonesia sebenarnya juga sudah melarang penggunaan pukat harimau sejak tahun 1980 , lewat Keppres 39/1980. Meskipun sudah ada larangan, tapi kenyataan di lapangan, masih ada saja kapal nelayan modern yang mencuri-curi menggunakan pukat harimau ini.
Nah, menurut rekomendasi dari Bappenas, daripada dilarang-larang tetapi kenyataannya masih ada nelayan yang menggunakan pukat harimau, maka sebaiknya diperbolehkan saja. Bappenas meneliti ada 6 daerah nelayan yang masih menggunakan pukat harimau, meski dilarang, yaitu Nunukan, Tegal, Padang, Bagan Siapi-api, Pekalongan, dan Cilacap.
Rekomendasi Bappenas inilah yang menjadi dasar Departemen Kelautan untuk mengijinkan penggunaan pukat harimau. Sekarang sedang diupayakan untuk mencabut atau merevisi Keppres 39/1980 di atas.
Ada alasan lain dari Departemen Kelautan yang hendak membuka ijin penggunaan pukat harimau ini. Aku kutipkan dari harian Kontan, 10 April 2008 :
Izin operasi pukat harimau di daerah perbatasan sekaligus untuk menjaga wilayah perbatasan, "Bila mengandalkan petugas perairan, tidak bisa setiap hari mondar mandir di wilayah tersebut,"kata Soen'an Hadi Poernomo, Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan.
Rasanya ini kebijakan yang aneh. Ketidakmampuan aparat keamanan menjaga wilayah perbatasan di laut, kok kemudian dibebankan pada nelayan? Kompensasinya boleh tangkap ikan sesukamu. Lalu karena selama ini sering terjadi pelanggaran pukat harimau, maka rekomendasi Bappenas kok malah minta Keppresnya direvisi? Bukankah semestinya minta penambahan aparat untuk menjaga perbatasan maupun menangkap nelayan yang menggunakan pukat harimau?
Para menteri pembantu Presiden SBY akhir-akhir ini memang sering aneh logika berpikirnya. Ada penelitian dari IPB soal susu formula tercemar, Menkesnya malah meradang di televisi, menuduh penelitinya tidak benar. Ada film Fitna dari negeri Belanda yang menghina agama, malah situs-situs yang menayangkan diblokir oleh Menteri Komunikasi dan Informasi. Sekarang soal kelautan, karena peraturan sering dilanggar nelayan maka akan dibebaskan penggunaan pukat harimau oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.

No comments:

Post a Comment